NO More Jokowi In 2019, Refleksi 2018 Dan Kenapa Tidak Jokowi Lagi


Ini adalah satu hari dalam hitungan jam menuju pergantian tahun. Hal lumrah setiap 31 Januari akan kita semua masuki situasi bye tahun ini, welcome tahun depan. Pergantian waktu dalam hitungannya juga adalah hal yang sangat natural. Tinggal bagaimana setiap dari kita memaknai dan dengan gaya masing-masing untuk menjalani pergantian dan pertambanan satu angka dalam hitungan yang menjadi kepala setiap 365 tanggal-tanggal.

Ah tapi tidak seperti biasanya. Kali ini segenap bangsa Indonesia kompak menjadikan pergantian bye 2018 dan welcome 2019 ini jadi sebuah momentum kebangkitan pergerakan atas hasrat kemenangan rakyat dan perlawanan dari segala bentuk kehancuran yang memang sudah harus dihentikan. Tahun yang dinanti untuk menumbangkan tiang congkak dengan gelombang kekuatan nurani dan akal.

Saya adalah peson yang tidak terlalu menganggap tahun baru adalah sesuatu yang spesial. Tapi sama seperti segenap pejuang kedaulatan yang kini menyatu dalam spektrum harapan perubahan dan perbaikan, saya tidak sabar untuk memasuki tahun penentu eksistensi bangsa kita dalam waktu dekat hingga masa depan yang bahkan mungkin saya sudah tidak ada disitu. Mungkin ada yang bertanya sebegitu bencikah saya dan orang-orang sealiran dengan saya denga beliau? Ini bukan soal kebencian, apalagi pada satu sosok yang sebenarnya saya memilih untuk tidak ingin tahu siapa dia sebenarnya, sampai pada suatu kondisi. Kondisi saat saya dan orang-orang ini muak dengan keadaan yang semakin memburuk atas kelalaian kita semua, bukan salah satu orang itu saja. Maka kami ingin memperbaiki kesalahan itu dengan tidak lagi memberi tempat dan waktu. Bukan lagi-lagi soal sosok secara personal tapi apa yang sudah ia perbuat dan gerombolannya timbulkan dimasa ter-AH sepanjang saya hidup .

Memang tidak serta merta di 1 Januari 2019 akan langsung NO More, tapi dengan sudah kita masuki 2019 lewat gerbang 1 Januarinya adalah awal dari waktu yang pergantian itu menjadi lebih dekat dan nyata.

Untuk segenap bangsa Indonesia, saudara-saudara ku sebangsa setanah air, ini adalah penguat atas dorongan perbaikan yang harus jadi kekuatan baik bagi kita semua. Berikut adalah potongan-potongan masa lalu kita sebagai bangsa yang tidak boleh lagi jadi hantu dan kegilaan ditahun awal kemenangan rakyat kelak. Ini adalah vitamin pahit yang mau tidak mau harus kita telan agar penyaakit akut yang kini negeri kita derita sembuh dengan momentum 2019, karena kita tahu setiap ada yang dengan nurani menyebut dengan  berteriak ‘2019’ akan disahut kalimat magis yang ditakuti mereka yang tidak ingin bangsa kita berdaulat karena untung bagi mereka akan lenyap.

Pertama, nilai tukar Rupiah terhadap USD berhasil menduduki posisi paling tinggi sepanjang sejarah keuangan bangsa kita. Boleh saja pemerintah melempar ketidak becusan ini kepada kondisi luar negeri yang ini dan itulah. Namun orang gila mana yang mau begitu saja manggut-manggut saat kita semua tahu, secara sederhana yang bisa benar-benar kita kontrol adalah dalam negeri kita, maka jangan salahkan yang diuar rumah tangga negara kita. Memang pasti ada pengaruhnya, tapi apa guna negara saat baru setelah terjadi saja mencari pembelaan dengan meyalahkan yang tidak akan bereaksi. Walau sudah mengakui kekhawatirannya, salah satu sosok yang paling sering menjadi corong nama yang saya tulis di judul malah bersilat lidah dengan menyebut bukan Rupiah yang Melemah tapi Dolar yang menguat. Begitukan.

Kedua,meroketnya ekonomi yang dikatakan tanpa mikir oleh pak de dengan latar belakang pohon dan rerumputan hijau malah terjadi pada meroketnya hutang luar negeri Indonesiaa tercinta ini. Meroketnya hutang kita adalah tanda lemahnya pemerintah dalam menegelola keuangan negara. Tapi tidak berlebihan rasanya ada yang mengambil keuntungan dengan terus berhutangnya Indonesia pada sejumlah negara, entah itu dari nilai hutang itu sendiri atau arah lain dari negeri yang memberi hutang itu, entahlah. Kemudian dengan bangga hutang itu dijadikan sebagai bahan baku kue beracun bernama prestasi infrastruktur pak de.

Ketiga, sembako mahal dan impor pangan yang diluar nalar. Terus akan terus dianggap dongen oleh penguasa dengan kata-kata itu semua tidaklah nyata. Seolah jeritan emak-emak dan tidak terpenuhinya kecukupan gizi anak-anak Indonesia sama sekali tidak dapat mereka lihat, dengar dan ketahui. Malah dengan sengaja antek-antek pak de shooting dipasar untuk memanipulasi kenyataan, bukannya bergerak memperbaiki keadaan urusan perut rakyat yang tidak boleh dianggap remeh bila ada niat membuat bangsa ini besar. Bangsa yang lapar tidak akan bisa berbuat banyak adalah kondisi real, atau mungkin sengaja?

Keempat, dari keseluruhan poin yang ada diatas, lahirlah poin ke empat ini yang membuat mual akal dan nalar umat manusia. Keempat ini adalah mulut lancang pak de beserta pembantu-pembantunya. Mulai dari memaksa rakyat diet, menanam sendiri yang mahal, mecabut meteran listrik, cacing adalah protein, hingga kualitas aseli pak de yang keluar akhirnya dari diksi-diksi murahnya. Tak perlu saya tulis, masih akan membuat mual saat kita ingat. Hingga yang tak kalah memalukan adalah mulut pak de yang akhirnya kaku dan seolah kehilangan kendainya ketika tidak mampu memuaskan tanya para awak media dengan jawaban yang tidak perlu cerdas setidaknya jangan bodoh saja.

Kelima, kriminalisasi ulama. Ini merupakan serangkaian teror yang sengaja di gencarkan karena pada dasarnya orang yang beragama tidak akan mengkhianati negaranya. Maka kelompok ini harus mereka ganggu. Salah satu agendanya adalah meneror dengan melakukan kriminalisasi terhadap tokoh-tokoh agama. Kasus chat mesum palsu yang dijadikan upaya untuk membungkam kekuatan seorang yang ucapannya akan melemahkan upaya busuk kelompok ini. Hingga teror kekerasan secara fisik terhadap ulama yang bahkan merenggut nyawa. Menjadi bukan satu-satunya situasi orang gila dikambing hitamkan. Sekali lagi tahun ini menjadi saksi bahwa mereka bagitu takut akan persatuan umat, maka pemimpin umat mereka kerjai denga keji.

Keenam, presekusi terhadap suara dan nurani rakyat. Gerombolan ini sebenarnya tidak sekuat itu. Suara-suara nurani rakyat yang mereka bungkam itu sebenarnya tidak sepenuhnya berhasil mereka bekap. Hanya karena ada aparat-aparat lemah yang mau saja jadi tangan besi penguasa untuk mempresekusi anak bangsa yang menyurakan haknya yang juga diatur oleh kosntitusi serta segerombol preman bayaran yang jelas menggambarkan bahwa rakyat masih lapar hingga mau disuruh jadi musuh saudaranya sendiri. Hanya karena sumber-sumber suara dan nurani rakyat adalah orang-orang yang benar cinta tanah airnya maka mereka mengalah. Tidak sulit rasanya bila rakyat sudah mengambil jalan pintas, aparat-aparat lemah dan preman bayaran itu tak akan mampu menandingi kekuatan suara dan nurani itu. Sekali lagi karena mereka cinta negerinya makanya mereka masih bermain cerdas dan baik dan bersabar menanti sang nabi palsu yang takut menggelinding kejurang dengan jalan yang baik dan bermartabat untuk diganti.

Ketujuh, mitigasi, penanganan, hingga politisasi bencana. Masih ingatlah momen pura-pura menyatu dengan suadara kita korban bencana dengan nonton bareng penutupan sebuah ajang olahraga. Hai tuan bukan itu yang mereka butuhkan, itu hanya memenuhi kebutuhan tuan untuk  mejeng dimedia dan memaikan peran saja. Hingga kini rakyat ditanah tempat tuan numpang nonton saja masih tidak tuan urus. Janji tuan pada mereka sudah membusuk. Adalagi saudara mereka yang senasib mendapat uji dari pencipta, yang terdahulu saja masih tuan abaikan. Lah kemudian lagi-lagi tuan pakai lokasi kemalangan mereka untuk mendulang puja-puji dari hamba tuan yang menikmati tipu daya tuan. Anak buah tuan memotong anggaran ini itu hingga tak kuasa anak buah tuan yang lain memberi peringatan pada saudara mereka akan bahaya yang akan datang mengancam nyawa. Ah tuan ini memang tidak paham apa malas saja mencari tahu dan menjadi mau untuk sebagai kepala bagi penyelaamatan rakyat tuan?

Sampailah pada satu akhir dari babak demi babak poin yang saya pilih untuk menjadi renungan bagi yang saya kasihi saudara sebangsa dan setumpah darah. Delapan kisah kita sebagai bangsa yang terjadi ditahun ini adalah refleksi 2018 sekaligus alasan kenapa harus katakan tidak pada tuan dan gerombolannya sekali lagi. Tidak akan sekali lagi kami berikan tuan dan gerombolan tuan bermain api dan membakar negeri kami dengan sengaja. Delapan ini adalah vitamin bagi kita untuk terus berjuang demi tahun yang baru adalah jalan bagi kita untuk menang sebagai rakyat aseli Indonesia.

Kedelapan, ada tiga belas juta rakyaat yang menjadi wakil kita yang sedang berjuang dengan darah dan keringat demi kehidupan lebih baik bagi diri kita dan masa depan negara ini. Lautan manusia yang berjalan dengan kekuatan iman, kebangsaan, persaudaran serta perjuangan kebenaran berisi gelombang yang akan menenggelamkan tuan. Tuan tak perlu marah, gerombolan tuan juga tak perlu marah membaca ini. Bahwa fakta atas aksi yang mengawali bulan penghujung tahun ini adalah bukti kami senada dalam berucap, katakan tidak pada tuan, tak akan kami biarkan tuan lagi. Bukan karena kami benci terhadap tuan, ini tak lebih karena kami tahu tuan tak sayang pada kami yang mungkin satu bangsa dengan tuan ini.

Comments

Popular posts from this blog

Jual Beli Blanko E-KTP, Jual beli Kedaulatan

Cerita Kehormatan, Prabowo Bagikan Rahasia Nektar Perjuangan Pada Saya

Setelah Hantu, Hanya Orang Gila Yang Bisa Mereka Tipu