Kisah Negeri (episode 1) : Miskin Prestasi, Bayar Preman dan presekusi
Disebuah negeri yang kaya raya, hiduplah ratusan juta jiwa
yang santun dan beragama. Rakyat-rakyat yang tak saling serupa, mereka hidup
dalam beda karena cinta. Pulau-pulau dan lautan gagah jadi kebanggan mereka. Disatukan
pula dalam nurani yang berjumlah lima.
Dahulu, untuk merdeka dari belenggu, dalam kekuatan bersatu
mereka berpadu. Tak perduli suku, tak pandang bulu, orang-orang ini bertujuan
satu. Merdekalah negeri ini dengan cucur keringat dan darah pendahulu.
Dikumandangkan janji dan sumpah merdeka. Bahwa mulai saat
itu tiada tempat di negeri itu untuk kesengsaraan. Tapi tidak semudah itu. Kaya
nya negeri ini masih menggiurkan, masih diintai dan diburu. Itu pun tidak
mudah, karena rakyatnya punya tuhan yang esa. Mereka adil dan beradap sebagai
manusia. Bersatu juga kekuatan mereka. Dipimpin oleh himkat dan bijkasananya
dalam relung musyawarah dan terwakilnya jiwa-jiwa rakyatnya. Maka adil lah bagi
siapapun rakyatnya.
Lalu bagai petir disiang bolong. Upaya penuh siasat dengki
dan iri hati mulai menantang dan berani. Berkali sudah negeri ini berganti
puncak tertinggi. Memang mereka manusia biasa juga. Lebih dan kurang mereka adalah
manusianya mereka. Sampai pada sebuah masa, seorang sudah benar tak peduli soal
lebih dan kurangnya menjamin hidup ratusan juta nurani. Sudah tanpa malu
menjual keping demi keping negeri untuk mereka yang entah siapa.
Masa itu, sudah diramal akan tiba saat digerbang menaiki
thakta orang ini sudah tebal muka. Tak ada cakapnya, tiada mampunya, hanya
tebal mukanya. Masih terkoyak hati saat mengingat orang disampingnya itu dahulu
pernah keras sekali melakukan prediski. Akan hancur, akan hancur, bisa hancur,
bisa hancur. Lalu mengapa dia mau menjadi nomor duanya? Ramal itu semamkin
jelas, maka kehancuran dicicil perlahan dan kini semakin deras.
Ia hanya mata dan tangan bagi koloni yang sudah sesak
ditanah mereka. Tanpa hati tanpa pikir. Namun dengan tipu daya tak sedikit umat
jadi terpana. Janjinya tak layak di pertanyakan lagi. Hingga kini itu hanya
sekedar bujuk rayu saat ia ingin mencuri tempat. Bahkan tanpa tipu daya pun ia
dan yang menyumpah hancurnnya dulu, tak akan berada disitu.
Tahun-tahun terlewati dalam sesak. Memang dia ahlinya
mengKOTAK-KOTAK. Entah benar apa tidak dia alami bagian dari tanah syurgawi. Rasanya
jika benar ia tak akan setega ini. Titahnya tidak pandai, ceramahnya tidak
mulia. Hanya awang-awang semua pada gelak tawa pengikutnyanya bangga. Menurun
akal pikir mereka karena memuja. Kini tahun-tahun sudah semakin genting
baginya, bagi para kaum bermata tajam pada kesenangan perut mereka itu, bagi
bala tentaranya yang penuh dusta.
Tawanya sudah mulai panik. Sesekali tuhan maha kuasa membuka
topengnya dengan jenaka. Apa yang bisa dia jual lagi? Tidak ada. Mana janjinya
dahulu? Tidak berarti tanpa poles-poles maya. Semua gelombang sudah dia
cengkram, hanya drama nya yang dapat rakyat tatap dan dengar. Bila bagai
memukul kendi pada kapal yang akan di lautkan adalah kehebatan, maka tak perlu
dia, tak perlu jadi dia. Batu-batu ia susun, lalu ia kabarkan bahwa ia berdaya.
Walau siapa saja hingga pemujanya tahu, ia menyusun batu-batu itu dengan kekuatan
yang bukan bangsanya, bahkan suatu saat kekuatan itu akan meruntuh batu-batu
dan menimbun rakyatnya. Kekuatan yang dia pungut-pungut dari banyak penjuru
karena hanya itu yang dia mampu.
Tiada lagi, memang tak ada. Tak ada jalan lain untuk tetap
pada kuasa. Dia dengan bangga memanggil anak bangsa tanah itu sendiri untuk
menghantam saudaranya. Orang-orang lapar ini lalu dia kerahkan untuk jadi
benteng kelemahhannya. Pundi-pundi dia siapkan untuk orang-orang ini berani
BERKELAHI.
Darah sampai tertumpah dari anak negeri itu yang hanya
menyuarakan nurani bangsanya. Menuntut seorang untuk perkasa mengaku lemahnya
dan berharap berlaku dengan pikir disisa waktunya. Tapi tidak, dia hanya tahu
jalan itu. Jalan singkat membungkan nurani rakyat yang dia kuasai. Baru ini
dunia lihat para calon cendikia harus berhadapan dengan pemuja tuan yang bertakhta
lewat jalan yang memberi sah orang bersuara.
Waktu- waktu sebelumnya sudah acap dia bermain peran bagai
korban. Dengan tanpa malu dan terbuka dia pakai alat negerinya untuk menutup
mulut-mulut kebenaran. Hingga anak negerinya tak lagi bisa berjalan untuk
berpaham diatas tanah nya sendiri. Dia siapkan benteng bernyawa, dia siapkan
caci, fitnah dan mala petaka.
Semua hanya untuk satu, dia berupaya tak Cuma satu kali
saja. Dia tak sekedar miskin pikir dan kata. Tapi dia jendela bagi
maling-maling dibumi bangsa itu. Bila ia akan terus maka maling-maling itu
sudah tak lagi harus susah, keran jendela akan menjadi pintu.
Tapi rakyat tidak tinggal diam. Semakin di injak semakin
mereka bangkit. Bersiaplah kau tuan. Bersiaplah kalian.
-BERSAMBUNG-
Comments
Post a Comment